]]>

Monday, June 11, 2007 

Pathetic Poem*

Bajangkirek wrote:
Diantara ratapan biola yang menguap lenyap
tangan kita masih terkepal,
bagai seorang petarung dengan dada terbusung
menonjok malam yang menyembunyikan rembulan.
Membalas perih dan nyeri
atas punggung kita yang semakin lebam dicambuk peradaban
atas wajah kita yang semakin purba diterkam zaman
sementara besok pagi matahari kembali
mengerogoti tubuh tanpa permisi
memutihkan tiap helai rambut kita
tanpa basa-basi

Tanteu wrote:
Tak mampu sudah kukepal tanganku
Terkulai lemas sudah badanku
sogan yang semakin mengikat dan membelenggu
dibalik kabut fajar yang palsu
Tak bisakah kau lihat?
terletihku mengejar daftar nafsu
rebahkan harapan pada bantal-bantal uang
dan selimut-selimut janji masa depan
Tak bisakah kau dengar?
Rintih nafasku yang semakin menipis
menjuntai bersembunyi
Dibalik nyeri yang menggugurkan tangis

Bajangkirek wrote:
Mungkin kita hanya bisa mensiasati pagi,
Menghirup semburan karbondioksida menyebarkan polusinya di tiap rongga dada
agar membentuk gumpalan nimbus yang menyesatkan matahari

Tanteu wrote:

setiap pagi yang kucium hanya gentar peluh berebut desak
dan setiap senja yang kujilat hanya keringat malam yang membau pekat
gelap... redup dan layu

Bajangkirek wrote:
Apa karena kita hanya bisa memandang waktu
dengan miopi pada mata?
Atau bahkan kita buta?
tanpa bisa mengeja noktah cahaya
hanya meraba-raba detik yang bergulir tanpa tahu ujungnya
Mengais-ais mimpi yang terserak
dan membenamkannya di pundi-pundi emas dan harta

Tanteu wrote:

pundi harta membenamkan masa masa depan dan ribuan harapan
denyut kepala tak mampu berdetak
Airmata masih bisa menetes
Namun tawa tak mampu lagi terbahak

Bajangkirek wrote:

Tawa kita telah terbang ke negeri syair
Dimana kata dan bahasa menjadi bidadari
Mengibas aroma rindu dengan sayap-sayapnya
dan menerbitkan liur pada lengkung bisu bibir kita

Tanteu wrote:
Aaah... terhanyut aku oleh rindu
aku rindu bau tanah pagi
aku rindu embun kesturinya matahari
aku rindu melayunya binar senja
Ohh...Tolonglah, bebaskan aku dari rindu

Bajangkirek wrote:
Rinduku tersesat di labirin pikiran yang masai,
larut dalam zat-zat opiat yang mengalir
di dalam kapiler-kapiler darah dan otak,
lalu perlahan mengendap di lidah
bersama serapah sampah kata-kata,
menggelojok bersama darah, peluh dan mani,
bersirobok dengan detik-detik yang terus berselisih.

Tanteu wrote:
Pikiranmu mulai membludak, kotor!
selokan pun tak sebacin dengan pelipir otakmu yang regas dan kasar

Bajangkirek wrote:
Ooooh.... Makianmu lebih merdu dari kantata murka Dewi Durga
Menambah semerbak bunga-bunga arak yang menggelayut di kepala

Tanteu wrote:
Masih saja nafsu kau reguk napsu walau sudah basi!
lebih basi dari roti yang nenekmu makan tadi pagi!

Bajangkirek wrote:
Maaf jika tak dapat kuuntai rindu
ke dalam alunan sajak yang menari
bagai alunan indah puisi-puisi Sapardi
Aku hanya ingin menggumuli nyeri dan lara
membenamkannya dalan kata-kata

Tanteu wrote:
kalau saja kau tahu dan mau sedikiittt saja mengerti..
pusar harapan ku sudah lama puput
pita kebebasanku telah lama kusut...
dan dalam setahun lagi....mereka pasti akan mulai membusuk..
ah... merenta...
mengapa daging ini bersisa

Bajangkirek wrote:
Kau sudah menggelar kafanmu sendiri
Menyanyikan requiem untuk penguburanmu sendiri
Merintihkan elegi dalam getar resonansi nyeri
Kini kau minta aku memahat epitaf di nisanmu
:Disinilah situs kearifan
dimana kesendirian, kematian adalah sebuah kelahiran

Tanteu wrote:
lebih baik kau mulai menyiapkan sogan-sogan batik usang
untuk membungkus wajahku yang parang
menyandarkan dada yang hampa
membasuh seluruh rindu yang kering
menukik tanpa batas, tanpa jalur, tanpa cahaya, tanpa gelap
tuk hanya sekedar "ada"
sekedar "hanya"
bukan memohon pada kehidupan
tapi mengiba pada kematian...

*) Duet puisi Bajangkirek-Tanteu dibacakan pada penutupan pameran drawing "Unfinished: A Journey to Indefinite Conciousness" karya Albess, 8 Juni 2007 di Prefere 72 Bandung, dan berkolaborasi dengan Klinik Keroncong.


Tuesday, May 29, 2007 

Menjelang 30

Pada petikan blue notes terakhir,
seteriak ratap menguap, perlahan lenyap.
Namun tangan masih terkepal mengacung tinju
pada malam yang menyembunyikan rembulan,
pada wajah yang semakin purba diterkam peradaban,
sementara esok pagi matahari akan kembali,
membakar kulit tanpa permisi,
memutihkan tiap helai rambut
tanpa basa-basi.


Saturday, May 05, 2007 

:"|

Hari ini hanyalah sebuah keping-kepingan montase dengan warna sephia


 

Midnight Words

There are things seen and unseen,
and between them are the doors.

(Jim Morrison, The American Poet)


Tuesday, March 06, 2007 

Suara Taman Kota

Ada yang termantra
saat wajah syahdu rembulan abu-abu
mengapung-apung
pada permukaan telaga bening
mengecup kening seorang penyair tua
untuk mencumbui kata-kata
:Puisi cinta

Ada yang menggema
saat tetes arak terakhir menjelma kupu-kupu
terhuyung limbung
pada lantai malam berkalang hening
menggoda birahi seorang lelaki mabuk
untuk menggumuli nyeri dan lara
:Serapah duka


Wednesday, November 01, 2006 

Memandang Cinta Selepas Isya

Pada pucuk salib Kristus di puncak Golgota, pada padmasana Budha, pada tarian sufi para darwis dalam putaran konstanta, pada kantata puja Brahmana, pada syair-syair makrifat Rumi, pada stanza agung para resi, pada pahatan relief candi, pada sabda suci mahadewa-mahadewi, Cinta hadir membelai wajah kita yang semakin purba diterkam peradaban, Cinta datang mengibas debu-debu tubuh yang bertumpu pada sepasang kaki bertulang rapuh dan ringkih. Cinta memang tak pernah kemana karena Cinta hanya berjarak sekedipan mata. Karena Cinta selalu hadir di antara tarikan dan hembusan napas menjaga lelap panjang kita, agar pada akhirnya kita tahu kemana harus pulang saat ruh kembali terjaga.....

Malam Takbiran, 2006


Wednesday, October 11, 2006 

Anti Soccer

Got this from a friend:

"Soccer = twenty two people running on the grass, chasing one ball with their IQs printed on their back".

Bwahahahaha!!!! Kirain gue cuma satu-satunya cowok yang gak suka bola, hahaha!!! Akhirnya gua tau kenapa kiper selalu pake nomor punggung 1, soalnya mereka paling retard, namanya juga sepakbola, ya bolanya harus disepak... Ini malah ditangkep-tangkep pake tangan, hahaha!!!


Friday, July 14, 2006 

The Kite Runner


:Semacam Resensi, Surat Sahabat Atau Entah Apa

Judul Buku: The Kite Runner
Pengarang : Khaled Khosseini
Penerbit : Qanita
Cetakan : Kedua, April 2006

Kau tanyakan kisahku lewat sebaris SMS yang kau kirim, sahabat. Abjad-abjad yang kau susun di layar handphone ini menuntunku pada kenangan yang kita catat di bawah temaram lampu merkuri pada satu pojok kota. Suatu sudut tempat kita merayakan malam-malam jahanam dan bersulang dari cawan-cawan tawa sampai mabuk membuat kita semakin tenggelam dalam gelak histeria, hingga terkadang kita lupa akan arti sebuah persahabatan. Satu sudut dimana dulu kita menyodorkan dada untuk saling tikam dan membiarkan darah bersimbah hingga mengalir menggenangi kaki sementara belatinya masih tertancap di sana. Kutelusuri kembali simpul-simpul yang mengikat jabat kita menjadi semakin erat. Pada retakan dinding yang mengelupas kupunguti bungkus-bungkus kembang gula dosa yang kau selipkan diam-diam dengan senyum culas. Kau nikmati seorang diri dengan sembunyi-sembunyi dan enggan sedikit pun kau bagi. Di tepi trotoar ini dulu aku sering terduduk gamang mendengar dagelanmu yang kuanggap sama sekali tidak lucu dan kutanggapi dengan kernyit alis tak perduli di atas senyum basa-basi. Kukutuk dirimu ketika kau membiarkan sisa malamku menjadi semakin pekat dan penat serasa berabad akibat kafein keparat dari bercangkir-cangkir kopi, ketika aku harus menunggumu berjam-jam di sebuah kafe (sementara kau dengan enteng mengucapkan maaf karena kau lupa dan tertidur). Tanpa kita sadar, pojok kota ini telah menggiring kita pada sebuah penghianatan, tatkala punggung kita harus bersiadu dan akhirnya saling menjauh, memutilasi segala kegembiraan dan tawa yang belum tuntas kita bagi.

Sahabat, masih inginkah kau dengar kisahku?

Akan kuceritakan sebuah kisah dari sebuah buku yang kubaca. Bagiku ini adalah kisah yang terbaik yang pernah kuceritakan untukmu. Mengalun dengan begitu indah dan agung bagai bait-bait makrifat Mastnawi Rumi, sekaligus tragis bagai kisah epik Shanamah. Kisah tentang persahabatan dari sebuah negara yang ada di balik benua, Afganistan. Sebuah negara kumuh dan kotor saat dipimpin oleh para mullah buta huruf, yang menyembunyikan wajah-wajah tolol mereka di balik janggut yang lebat. Negara dimana segala dera dan aniaya bebas dilakukan atas nama Quran dan Hadist. Negara yang luluhlantak akibat peperangan namun masih menyisakan sekelumit ketulusan dan pengabdian. Kisah yang dapat kita baca dari layang-layang yang menari di atas langit lapang kota Kabul, tentang sebuah persahabatan yang menancapkan akar-akar persaudaraan dan duri-duri penghianatan. Cerita ini berawal dari persahabatan Amir, seorang anak tuan tanah suku Pashtun, dan Hassan, seorang pengejar layang-layang berbibir sumbing yang tangguh dari suku Hazara. Kebahagiaan yang selalu mereka bagi dari atas dahan pohon poplar dengan kaki telanjang, saku yang penuh oleh buah murbei kering dan biji-biji kenari, dan tawa lebar saat layang-yang putus terjatuh pada lengan mereka yang terbentang. Waktu terus bergulir cepat bagai gelondongan benang gelasan. Namun luka-luka goresan benang di telapak tangan saat mengadu layangan tetap menyimpan kenangan tragis. Saat gemerisik lembut pohon-pohon poplar menjelma badai perang yang meluluhlantakan gedung-gedung kota Kabul. Hymne kerikan jangkrik yang hiasi taman terganti oleh dentum ledakan mesiu dan martir, serta sungai yang berubah merah mengalirkan darah pembantaian rezim Taliban atas suku Hazara. Setelah 27 tahun mengungsi ke Amerika Serikat, Amir mengira dosa dan penghianatannya telah terkubur di dalam puing-puing gedung kota Kabul. Ternyata tidak. Dosa dan penghianatan itu menyeruak memanggilnya dari balik reruntuhan untuk suatu tujuan mulia: menyelamatkan nyawa seorang anak yang belum pernah dikenalnya. Penebusan dosa yang menghantui Amir dilakukannya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Aku tak kuasa untuk menceritakan kisah tentang layang-layang biru yang tergeletak di dekat dinding, di sebelah kompor besi tempa dan celana corduroy coklat milik Hassan yang tergeletak di atas tumpukan bata yang lapuk. Aku takut terluka jika harus membayangkan diri kita dengan pakaian yang sobek dan bernoda lumpur berjalan tertatih di bawah temaram lampu-lampu kota, sementara kita tak dapat menahan beban tubuh kita dan akhirnya membiarkan masing-masing terjatuh.

Sahabat, masih inginkah kau dengar kisahku?

Sungguh, SMS yang kau kirimkan ini lebih dari penebusan segala dosa dan penghianatan. Semacam kegairahan untuk melihat kembali ke satu pojok kota yang ramai dengan dekorasi kisah kita. Tempat dimana kita membuang segala limbah dosa yang mengalir deras ke dalam gorong-gorong yang bau dan jorok. Ketulusan yang terbit dari matamu saat kau biarkan aku membakar sebatang rokok terakhirmu yang terselip di telinga. Hangat yang kau tawarkan lewat jaket jeans lusuh sekedar untuk menepis dingin angin jahil yang sileti kulitku. Lelucon kotormu membuat lengkung luas pada bibirku saat otakku lumpuh. Abjad-abjad yang kau susun di layar handphone seakan membebaskan kita dari segala retribusi persahabatan. Lihat, sahabat. Grafiti nama kita masih ada di sana menutupi sebuah papan advertensi. Pojok kota ini telah memanggil kita, sahabat. Pojok kota ini adalah panggung kita. Siap menyambut dengan guyuran keping-keping kecil confetti berbagai warna dalam wujud cahaya lampu kota. Sudahlah, tak perlu lagi kuceritakan kisahku. Sekarang, mari bersulang. Untukmu, keseribu kalinya…


Bajangkirek adalah:



    Seorang wanita lesbian yang terjebak didalam tubuh seorang pria tampan. Saat ini sedang berusaha untuk tidak memusuhi senja. Percaya bahwa dirinya berasal dari sejenis serangga. Menulis baginya merupakan penyaluran libido.

    Contact:
    allan@hafied.org
  • Bajangkirek.multiply.com

Lindap Orthophera

Yang Lalu....

Link