]]>

Friday, July 14, 2006 

The Kite Runner


:Semacam Resensi, Surat Sahabat Atau Entah Apa

Judul Buku: The Kite Runner
Pengarang : Khaled Khosseini
Penerbit : Qanita
Cetakan : Kedua, April 2006

Kau tanyakan kisahku lewat sebaris SMS yang kau kirim, sahabat. Abjad-abjad yang kau susun di layar handphone ini menuntunku pada kenangan yang kita catat di bawah temaram lampu merkuri pada satu pojok kota. Suatu sudut tempat kita merayakan malam-malam jahanam dan bersulang dari cawan-cawan tawa sampai mabuk membuat kita semakin tenggelam dalam gelak histeria, hingga terkadang kita lupa akan arti sebuah persahabatan. Satu sudut dimana dulu kita menyodorkan dada untuk saling tikam dan membiarkan darah bersimbah hingga mengalir menggenangi kaki sementara belatinya masih tertancap di sana. Kutelusuri kembali simpul-simpul yang mengikat jabat kita menjadi semakin erat. Pada retakan dinding yang mengelupas kupunguti bungkus-bungkus kembang gula dosa yang kau selipkan diam-diam dengan senyum culas. Kau nikmati seorang diri dengan sembunyi-sembunyi dan enggan sedikit pun kau bagi. Di tepi trotoar ini dulu aku sering terduduk gamang mendengar dagelanmu yang kuanggap sama sekali tidak lucu dan kutanggapi dengan kernyit alis tak perduli di atas senyum basa-basi. Kukutuk dirimu ketika kau membiarkan sisa malamku menjadi semakin pekat dan penat serasa berabad akibat kafein keparat dari bercangkir-cangkir kopi, ketika aku harus menunggumu berjam-jam di sebuah kafe (sementara kau dengan enteng mengucapkan maaf karena kau lupa dan tertidur). Tanpa kita sadar, pojok kota ini telah menggiring kita pada sebuah penghianatan, tatkala punggung kita harus bersiadu dan akhirnya saling menjauh, memutilasi segala kegembiraan dan tawa yang belum tuntas kita bagi.

Sahabat, masih inginkah kau dengar kisahku?

Akan kuceritakan sebuah kisah dari sebuah buku yang kubaca. Bagiku ini adalah kisah yang terbaik yang pernah kuceritakan untukmu. Mengalun dengan begitu indah dan agung bagai bait-bait makrifat Mastnawi Rumi, sekaligus tragis bagai kisah epik Shanamah. Kisah tentang persahabatan dari sebuah negara yang ada di balik benua, Afganistan. Sebuah negara kumuh dan kotor saat dipimpin oleh para mullah buta huruf, yang menyembunyikan wajah-wajah tolol mereka di balik janggut yang lebat. Negara dimana segala dera dan aniaya bebas dilakukan atas nama Quran dan Hadist. Negara yang luluhlantak akibat peperangan namun masih menyisakan sekelumit ketulusan dan pengabdian. Kisah yang dapat kita baca dari layang-layang yang menari di atas langit lapang kota Kabul, tentang sebuah persahabatan yang menancapkan akar-akar persaudaraan dan duri-duri penghianatan. Cerita ini berawal dari persahabatan Amir, seorang anak tuan tanah suku Pashtun, dan Hassan, seorang pengejar layang-layang berbibir sumbing yang tangguh dari suku Hazara. Kebahagiaan yang selalu mereka bagi dari atas dahan pohon poplar dengan kaki telanjang, saku yang penuh oleh buah murbei kering dan biji-biji kenari, dan tawa lebar saat layang-yang putus terjatuh pada lengan mereka yang terbentang. Waktu terus bergulir cepat bagai gelondongan benang gelasan. Namun luka-luka goresan benang di telapak tangan saat mengadu layangan tetap menyimpan kenangan tragis. Saat gemerisik lembut pohon-pohon poplar menjelma badai perang yang meluluhlantakan gedung-gedung kota Kabul. Hymne kerikan jangkrik yang hiasi taman terganti oleh dentum ledakan mesiu dan martir, serta sungai yang berubah merah mengalirkan darah pembantaian rezim Taliban atas suku Hazara. Setelah 27 tahun mengungsi ke Amerika Serikat, Amir mengira dosa dan penghianatannya telah terkubur di dalam puing-puing gedung kota Kabul. Ternyata tidak. Dosa dan penghianatan itu menyeruak memanggilnya dari balik reruntuhan untuk suatu tujuan mulia: menyelamatkan nyawa seorang anak yang belum pernah dikenalnya. Penebusan dosa yang menghantui Amir dilakukannya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Aku tak kuasa untuk menceritakan kisah tentang layang-layang biru yang tergeletak di dekat dinding, di sebelah kompor besi tempa dan celana corduroy coklat milik Hassan yang tergeletak di atas tumpukan bata yang lapuk. Aku takut terluka jika harus membayangkan diri kita dengan pakaian yang sobek dan bernoda lumpur berjalan tertatih di bawah temaram lampu-lampu kota, sementara kita tak dapat menahan beban tubuh kita dan akhirnya membiarkan masing-masing terjatuh.

Sahabat, masih inginkah kau dengar kisahku?

Sungguh, SMS yang kau kirimkan ini lebih dari penebusan segala dosa dan penghianatan. Semacam kegairahan untuk melihat kembali ke satu pojok kota yang ramai dengan dekorasi kisah kita. Tempat dimana kita membuang segala limbah dosa yang mengalir deras ke dalam gorong-gorong yang bau dan jorok. Ketulusan yang terbit dari matamu saat kau biarkan aku membakar sebatang rokok terakhirmu yang terselip di telinga. Hangat yang kau tawarkan lewat jaket jeans lusuh sekedar untuk menepis dingin angin jahil yang sileti kulitku. Lelucon kotormu membuat lengkung luas pada bibirku saat otakku lumpuh. Abjad-abjad yang kau susun di layar handphone seakan membebaskan kita dari segala retribusi persahabatan. Lihat, sahabat. Grafiti nama kita masih ada di sana menutupi sebuah papan advertensi. Pojok kota ini telah memanggil kita, sahabat. Pojok kota ini adalah panggung kita. Siap menyambut dengan guyuran keping-keping kecil confetti berbagai warna dalam wujud cahaya lampu kota. Sudahlah, tak perlu lagi kuceritakan kisahku. Sekarang, mari bersulang. Untukmu, keseribu kalinya…


Bajangkirek adalah:



    Seorang wanita lesbian yang terjebak didalam tubuh seorang pria tampan. Saat ini sedang berusaha untuk tidak memusuhi senja. Percaya bahwa dirinya berasal dari sejenis serangga. Menulis baginya merupakan penyaluran libido.

    Contact:
    allan@hafied.org
  • Bajangkirek.multiply.com

Lindap Orthophera

Yang Lalu....

Link