Pathetic Poem*
Bajangkirek wrote:
Diantara ratapan biola yang menguap lenyap
tangan kita masih terkepal,
bagai seorang petarung dengan dada terbusung
menonjok malam yang menyembunyikan rembulan.
Membalas perih dan nyeri
atas punggung kita yang semakin lebam dicambuk peradaban
atas wajah kita yang semakin purba diterkam zaman
sementara besok pagi matahari kembali
mengerogoti tubuh tanpa permisi
memutihkan tiap helai rambut kita
tanpa basa-basi
Tanteu wrote:
Tak mampu sudah kukepal tanganku
Terkulai lemas sudah badanku
sogan yang semakin mengikat dan membelenggu
dibalik kabut fajar yang palsu
Tak bisakah kau lihat?
terletihku mengejar daftar nafsu
rebahkan harapan pada bantal-bantal uang
dan selimut-selimut janji masa depan
Tak bisakah kau dengar?
Rintih nafasku yang semakin menipis
menjuntai bersembunyi
Dibalik nyeri yang menggugurkan tangis
Bajangkirek wrote:
Mungkin kita hanya bisa mensiasati pagi,
Menghirup semburan karbondioksida menyebarkan polusinya di tiap rongga dada
agar membentuk gumpalan nimbus yang menyesatkan matahari
Tanteu wrote:
setiap pagi yang kucium hanya gentar peluh berebut desak
dan setiap senja yang kujilat hanya keringat malam yang membau pekat
gelap... redup dan layu
Bajangkirek wrote:
Apa karena kita hanya bisa memandang waktu
dengan miopi pada mata?
Atau bahkan kita buta?
tanpa bisa mengeja noktah cahaya
hanya meraba-raba detik yang bergulir tanpa tahu ujungnya
Mengais-ais mimpi yang terserak
dan membenamkannya di pundi-pundi emas dan harta
Tanteu wrote:
pundi harta membenamkan masa masa depan dan ribuan harapan
denyut kepala tak mampu berdetak
Airmata masih bisa menetes
Namun tawa tak mampu lagi terbahak
Bajangkirek wrote:
Tawa kita telah terbang ke negeri syair
Dimana kata dan bahasa menjadi bidadari
Mengibas aroma rindu dengan sayap-sayapnya
dan menerbitkan liur pada lengkung bisu bibir kita
Tanteu wrote:
Aaah... terhanyut aku oleh rindu
aku rindu bau tanah pagi
aku rindu embun kesturinya matahari
aku rindu melayunya binar senja
Ohh...Tolonglah, bebaskan aku dari rindu
Bajangkirek wrote:
Rinduku tersesat di labirin pikiran yang masai,
larut dalam zat-zat opiat yang mengalir
di dalam kapiler-kapiler darah dan otak,
lalu perlahan mengendap di lidah
bersama serapah sampah kata-kata,
menggelojok bersama darah, peluh dan mani,
bersirobok dengan detik-detik yang terus berselisih.
Tanteu wrote:
Pikiranmu mulai membludak, kotor!
selokan pun tak sebacin dengan pelipir otakmu yang regas dan kasar
Bajangkirek wrote:
Ooooh.... Makianmu lebih merdu dari kantata murka Dewi Durga
Menambah semerbak bunga-bunga arak yang menggelayut di kepala
Tanteu wrote:
Masih saja nafsu kau reguk napsu walau sudah basi!
lebih basi dari roti yang nenekmu makan tadi pagi!
Bajangkirek wrote:
Maaf jika tak dapat kuuntai rindu
ke dalam alunan sajak yang menari
bagai alunan indah puisi-puisi Sapardi
Aku hanya ingin menggumuli nyeri dan lara
membenamkannya dalan kata-kata
Tanteu wrote:
kalau saja kau tahu dan mau sedikiittt saja mengerti..
pusar harapan ku sudah lama puput
pita kebebasanku telah lama kusut...
dan dalam setahun lagi....mereka pasti akan mulai membusuk..
ah... merenta...
mengapa daging ini bersisa
Bajangkirek wrote:
Kau sudah menggelar kafanmu sendiri
Menyanyikan requiem untuk penguburanmu sendiri
Merintihkan elegi dalam getar resonansi nyeri
Kini kau minta aku memahat epitaf di nisanmu
:Disinilah situs kearifan
dimana kesendirian, kematian adalah sebuah kelahiran
Tanteu wrote:
lebih baik kau mulai menyiapkan sogan-sogan batik usang
untuk membungkus wajahku yang parang
menyandarkan dada yang hampa
membasuh seluruh rindu yang kering
menukik tanpa batas, tanpa jalur, tanpa cahaya, tanpa gelap
tuk hanya sekedar "ada"
sekedar "hanya"
bukan memohon pada kehidupan
tapi mengiba pada kematian...
*) Duet puisi Bajangkirek-Tanteu dibacakan pada penutupan pameran drawing "Unfinished: A Journey to Indefinite Conciousness" karya Albess, 8 Juni 2007 di Prefere 72 Bandung, dan berkolaborasi dengan Klinik Keroncong.
Diantara ratapan biola yang menguap lenyap
tangan kita masih terkepal,
bagai seorang petarung dengan dada terbusung
menonjok malam yang menyembunyikan rembulan.
Membalas perih dan nyeri
atas punggung kita yang semakin lebam dicambuk peradaban
atas wajah kita yang semakin purba diterkam zaman
sementara besok pagi matahari kembali
mengerogoti tubuh tanpa permisi
memutihkan tiap helai rambut kita
tanpa basa-basi
Tanteu wrote:
Tak mampu sudah kukepal tanganku
Terkulai lemas sudah badanku
sogan yang semakin mengikat dan membelenggu
dibalik kabut fajar yang palsu
Tak bisakah kau lihat?
terletihku mengejar daftar nafsu
rebahkan harapan pada bantal-bantal uang
dan selimut-selimut janji masa depan
Tak bisakah kau dengar?
Rintih nafasku yang semakin menipis
menjuntai bersembunyi
Dibalik nyeri yang menggugurkan tangis
Bajangkirek wrote:
Mungkin kita hanya bisa mensiasati pagi,
Menghirup semburan karbondioksida menyebarkan polusinya di tiap rongga dada
agar membentuk gumpalan nimbus yang menyesatkan matahari
Tanteu wrote:
setiap pagi yang kucium hanya gentar peluh berebut desak
dan setiap senja yang kujilat hanya keringat malam yang membau pekat
gelap... redup dan layu
Bajangkirek wrote:
Apa karena kita hanya bisa memandang waktu
dengan miopi pada mata?
Atau bahkan kita buta?
tanpa bisa mengeja noktah cahaya
hanya meraba-raba detik yang bergulir tanpa tahu ujungnya
Mengais-ais mimpi yang terserak
dan membenamkannya di pundi-pundi emas dan harta
Tanteu wrote:
pundi harta membenamkan masa masa depan dan ribuan harapan
denyut kepala tak mampu berdetak
Airmata masih bisa menetes
Namun tawa tak mampu lagi terbahak
Bajangkirek wrote:
Tawa kita telah terbang ke negeri syair
Dimana kata dan bahasa menjadi bidadari
Mengibas aroma rindu dengan sayap-sayapnya
dan menerbitkan liur pada lengkung bisu bibir kita
Tanteu wrote:
Aaah... terhanyut aku oleh rindu
aku rindu bau tanah pagi
aku rindu embun kesturinya matahari
aku rindu melayunya binar senja
Ohh...Tolonglah, bebaskan aku dari rindu
Bajangkirek wrote:
Rinduku tersesat di labirin pikiran yang masai,
larut dalam zat-zat opiat yang mengalir
di dalam kapiler-kapiler darah dan otak,
lalu perlahan mengendap di lidah
bersama serapah sampah kata-kata,
menggelojok bersama darah, peluh dan mani,
bersirobok dengan detik-detik yang terus berselisih.
Tanteu wrote:
Pikiranmu mulai membludak, kotor!
selokan pun tak sebacin dengan pelipir otakmu yang regas dan kasar
Bajangkirek wrote:
Ooooh.... Makianmu lebih merdu dari kantata murka Dewi Durga
Menambah semerbak bunga-bunga arak yang menggelayut di kepala
Tanteu wrote:
Masih saja nafsu kau reguk napsu walau sudah basi!
lebih basi dari roti yang nenekmu makan tadi pagi!
Bajangkirek wrote:
Maaf jika tak dapat kuuntai rindu
ke dalam alunan sajak yang menari
bagai alunan indah puisi-puisi Sapardi
Aku hanya ingin menggumuli nyeri dan lara
membenamkannya dalan kata-kata
Tanteu wrote:
kalau saja kau tahu dan mau sedikiittt saja mengerti..
pusar harapan ku sudah lama puput
pita kebebasanku telah lama kusut...
dan dalam setahun lagi....mereka pasti akan mulai membusuk..
ah... merenta...
mengapa daging ini bersisa
Bajangkirek wrote:
Kau sudah menggelar kafanmu sendiri
Menyanyikan requiem untuk penguburanmu sendiri
Merintihkan elegi dalam getar resonansi nyeri
Kini kau minta aku memahat epitaf di nisanmu
:Disinilah situs kearifan
dimana kesendirian, kematian adalah sebuah kelahiran
Tanteu wrote:
lebih baik kau mulai menyiapkan sogan-sogan batik usang
untuk membungkus wajahku yang parang
menyandarkan dada yang hampa
membasuh seluruh rindu yang kering
menukik tanpa batas, tanpa jalur, tanpa cahaya, tanpa gelap
tuk hanya sekedar "ada"
sekedar "hanya"
bukan memohon pada kehidupan
tapi mengiba pada kematian...
*) Duet puisi Bajangkirek-Tanteu dibacakan pada penutupan pameran drawing "Unfinished: A Journey to Indefinite Conciousness" karya Albess, 8 Juni 2007 di Prefere 72 Bandung, dan berkolaborasi dengan Klinik Keroncong.